Minggu, 17 April 2011

Balada Anak Jalanan


Aku tergeletak di sebuah kardus kumal berwarna cokelat. Berselimutkan kain berwarna merah. Dengan rona wajah masih memerah, layaknya bayi yang baru lahir, aku dibiarkan begitu saja di kardus itu. Hujan lebat diiringi gemuruh di malam itu. Itulah yang selalu dikatakan orang-orang yang sedia merawatku sejak dahulu.
Sepertinya kelahiranku disambut wajah muram, air mata berlinang dan keringat gelisah orang-orang saat itu. Bukannya disambut gelak tawa dari nenekku atau tangis bahagia dari bapakku. Terbukti dengan dibuangnya aku entah oleh siapa ke dalam kardus itu. Beruntunglah aku dirawat oleh orang yang bersedia merawatku.

Aku tak tahu siapa ibu dan bapakku. Yang kutahu hanyalah seorang pria berparas pas-pasan, rambut yang acak-acakan dan tampilan yang kumal yang mendidiku, kuanggap dia sebagai bapak. Sebagai bapak, ia kurang ideal menurutku, ia sering memaki, menghardik, bahkan tak segan memukulku bila setoranku tidak mencapai target. Apakah ia layak kupanggil “bapak?”. Aku benar-benar tak memiliki sosok seorang ibu yang mengasihi dan menyayangiku. Yang kudapat hanyalah seorang wanita yang selalu menghabiskan berbatang-batang rokok guna menunggu pelayan yang datang silih berganti. Aku tak tahu apakah ia layak dipanggil sebagai “ibu”?

Aspal jalanan adalah lantai rumahku. Langit biru adalah atap rumahku. Aku tidur di pinggiran toko-toko. Beralaskan kardus bekas dan berbantalkan lengan. Tubuhku nyaris tanpa lemak. Tubuhku hanya sekedar tulang yang menempel di kulit saja. Pakaianku hanya kaus kucel yang kupakai lebih dari 2 hari yang lalu. Aku tak ingat kapan terakhir kali aku membersihkan diri. Rambutku memerah, tapi bukan karena dicat, ini akibat aku terlalu sering berpanas-panasan. Kulitku menghitam, rambutku susah diatur, dan tatapanku kosong. Tak jarang, badanku sering gatal-gatal, tetapi aku sudah terbiasa. Asap kendaraan bermotor dan asap rokok sudah biasa bagiku. Bau sampah pun melekat di tubuhku. Tak heran banyak orang menutup hidungnya saat aku lewat.

Yah, benar. Aku adalah anak jalanan. Pengamen, orang-orang bilang. Pekerjaanku menghibur para penumpang bus. Menyanyikan lagu-lagu trend masa kini atau lagu-lagu lawas masa lalu. Dari ungu sampai peterpan. Dari roma irama sampai ridho rhoma, semua bisa kulantunkan dengan ukulele milikku ini. Berharap ada sedikit apresiasi dari para pendengar, baik berupa koin ataupun selembaran rupiah. Satu batang atau sebungkus rokok, mungkin. Atau sekedar lambaian tangan lebih baik bagiku daripada orang yang acuh saat aku mendekatinya.

Inilah beberapa bait yang sering aku lantunkan di bus. Kalo tidak salah, ini merupakan lagunya bang Iwan. Dia merupakan inspirasiku, kawan!


Aku ingin nyanyikan lagu
Bagi kaum kaum yang terbuang
Kehilangan semangat juang
Terlena dalam mimpi panjang
Ditengah hidup yang bimbang

Kenapa harus takut pada matahari ?
Kepalkan tangan dan halau setiap panasnya
Kenapa harus takut pada malam hari ?
Nyalakan api dalam hati usir segala kelamnya

Di lorong lorong lorong jalan
Di kolong kolong kolong jembatan
Di kaki kaki kaki lima
Di bawah menara
Kau masih mendekap derita
Kau masih mendekap derita
anak jalanan dan relawan

Sebenarnya aku tidak ingin hidup di jalan. Hidup di jalan sangat susah, kawan! Aku harus mengamen di sana-sini. Belum lagi dipotong setoran oleh preman-preman. Jikalau setroan kurang, maka tahu sendiri akibatnya bukan? Lebih baik aku mengamen saja dengan uang seadanya, daripada aku mencopet dengan uang segalanya. Aku juga tidak mau menjadi sekedar peminta-minta yang hanya mengandalkan belas kasihan orang lain. Aku lebih baik mengandalkan suara parau ku dengan berbekal ukulele usang, daripada aku berpura-pura sakit, lemas, saudaraku sedang sakit parah, atau ingin berbuka puasa di bulan ramadhan dengan berbekal tangan kosong belaka.

Aku juga ingin hidup layak, kawan! Aku ingin hidup bersama keluargaku. Aku juga ingin makan bersama kedua orangtuaku! Aku juga ingin menikmati pendidikan tinggi seperti para sarjana! Aku sudah bosan hidup dengan aroma asap bus Damri yang tebal, dan bau sampah melekat di tubuhku. Aku juga ingin merasakan harumnya aroma parfum, yang sering kau gunakan, kawan!

Bersyukurlah kawan, engkau tidak seperti diriku. Di pagi hari jika kau mau sarapan, engkau tinggal makan saja. Susah sekali untuku sekedar membeli sepotong roti. Di saat kau menuntut ilmu dengan air conditioner yang dingin hingga kau terlelap, aku mulai menjelajahi satu persatu bus, dengan hawa panas menyengat. Ketika kan tertidur, kau tinggal memeluk gulingmu, kawan! Namun aku harus berlari menghindari kejaran dari para aparat, di saat terjadi operasi. Sungguh beruntung hidupmu kawan! Bersyukurlah, karena kau tidak digeletakan di kardus dan hidup di jalan!

anak-anak jalanan


Salam,
Pencari Tuhan


Sumber: http://www.facebook.com/notes/reza-irfansyah/balada-anak-jalanan/1490846330804?ref=notif&notif_t=note_tag

Tidak ada komentar:

Posting Komentar